Jumat, 05 April 2013
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional: HUKUM PERDATA INDONESIA
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional: HUKUM PERDATA INDONESIA: H U K U M P E R D A T A I. PENDAHULUAN 1. Pengertian Hukum Perdata. Apa yang dimaksud dengan huk...
HUKUM PERDATA INDONESIA
H U K U M
P
E R D A T A
I.
PENDAHULUAN
1.
Pengertian Hukum Perdata.
Apa yang dimaksud dengan hukum
perdata ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus lebih dahulu membedakan
hukum perdata itu atas dua macam, yaitu Hukum Perdata Materiil dan Hukum
Perdata Formil. Hukum Perdata Materiil lazim disebut “Hukum Perdata” saja,
sedangkan Hukum Perdata Formil lazim disebut “Hukum Acara Perdata”.
Yang dipertanyakan diatas ini dan asas-asasnya akan
dibicarakan disini adalah Hukum Perdata Materiil yang lebih dikenal dengan
sebutan “Hukum Perdata” saja.
Banyak para sarjana yang menulis,
akan tetapi banyak pula yang mendifinisikan hukum perdata, yang satu dengan
yang lainnya berbeda-beda, namun perbedaan tersebut tidak menunjukkan perbedaan
yang terlalu prinsipiil.
Kebanyakkan para sarjana menganggap hukum perdata
sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda
dengan hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Prof. R. Subekti, SH misalnya menyatakan bahwa yang dimaksud hukum perdata
adalah segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Selanjutnya Prof. Dr.
Ny. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, SH. menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antar warga negara
perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.
Oleh karena itu secara umum disini
dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang
menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi).
Meskipun hukum perdata mengatur
kepentingan perseorangan, namun tidak berarti semua hukum perdata tersebut
secara murni mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena perkembangan masyarakat banyak
bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum public,
misalnya bidang perkawinan, perburuhan, dan sebagainya.
Selanjutnya hukum perdata ini ada
yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum perdata yang tertulis ialah
hukum perdata yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan
hukum perdata yang tidak tertulis adalah Hukum Adat.
2.
Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia sampai
saat ini masih beraneka ragam (pluralistik),
dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali
bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi.
Keaneka ragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah
berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun
1596.
Keaneka ragaman hukum ini bersumber
pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya
atas tiga golongan yaitu :
1.
Golongan Eropa, ialah : (a)
semua orang Belanda, (b) semua orang Eropa lainnya, (c) semua orang Jepang, (d)
semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk kepada hukum
keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda,
(e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub. b
dan c yang lahir di Hindia Belanda.
2.
Golongan Bumi Putera, ialah semua orang
termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan
mereka yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan
rakyat Indonesia asli.
3.
Golongan Timur Asing, ialah
semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumi Putera.
Selanjutnya dalam pasal 131 IS
dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negara Belanda (yaitu
hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumi Putera dan Timur Asing)
berlaku hukum adatnya masing-masing. Kemudian apabila kepentingan umum serta
kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka hukum untuk golongan Eropa dapat
dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat sesuatu peraturan baru
bersama.
Berdasarkan ketentuan pasal 131 IS diatas maka kodifikasi
hukum perdata (Burgerlijk Wetboek)
hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan. Bagi golongan
Bumi Putera dan Timur Asing
berlaku hukum adapt mereka masing-masing; kecuali sejak tahun 1855 hukum-hukum
perdata perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum
keluarga dan hukum waris. Peraturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan
berlaku bagi orang-orang Bumi Putera (Indonesia) antara lain pasal 1601 – 1603 (lama) BW tentang
perburuhan (Stb. 1879 No. 256) pasal 1788 – 1791 BW tentang utang-piutang
karena perjudian (Stb. 1907 No. 306) dan beberapa pasal KUHD yaitu sebagian
besar Hukum Laut. (Stb. 1939 No. 570 jo No. 717).
Selanjutnya ada beberapa peraturan
yang secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumi Putera) seperti ordonansi
perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang
Maskapai Andil Indonesia
yang disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo
No. 717) dan ordonansi Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570
jo No. 717).
3.
Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropa
Dalam Undang-undang Dasar 1945,
Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 dimuat aturan peralihan.
Salah satu maksud diadakannya aturan peralihan ini ialah untuk menjadi dasar
berlakunya terus peraturan perundang-undangan yang ada pada saat undang-undang dasar
tersebut diberlakukan. Dengan demikian kevakuman hukum yang bisa menimbulkan
ketidak pastian dan kekacauan dalam masyarakat dapat dihindari.
Pasal II Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945 menentukan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Kemudian pasal IV Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945 juga menentukan : “Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional Pusat”.
Berdasaran Aturan Peralihan dalan
Undang-undang Dasar 1945 itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan
dan mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, yang bunyinya sebagai
berikut :
Pasal 1 : “Segala
Badan-badan Negara dan Peraturan yang ada sampai ber-
dirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar masih
berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
Undang-undang Dasar
tersebut.
Pasal 2 : “Peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945”
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakanya Peraturan Pemerintah tersebut
adalah untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945.
Jadi berdasarkan pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945
maka keadaan hukum perdata pada tanggal 17 Agustus 1945 diteruskan berlakunya
di Indonesia.
Bagaimana keadaan hukum perdata pada
tanggal 17 Agustus 1945 itu ?. Sebagaimana diketahui negara Indonesia pada waktu itu dijajah
oleh Jepang, sehingga sebelum tanggal 17 Agustus 1945 berlaku
peraturan-peraturan Pemerintah Balatentara Jepang. Untuk daerah Jawa dan
Madura, Pemerintah Balatentara Jepang telah mengeluarkan Undang-undang No. 1
tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942, dimana dalam pasal 3 dinyatakan: “Semua
badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
Pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak
bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer”.
Sedangkan untuk daerah-daerah luar
Jawa dan Madura ada badan-badan dan kekuasaan lain dari Balatentara Jepang yang
tindakan-tindakannya dalam hal ini boleh dikatakan aman.
4.
Kedudukan BW pada waktu sekarang
Bagaimana kedudukan BW (Bulgerlijk
Wetboek) pada waktu sekarang ? Apakah BW tersebut masih bisa dianggap
berlaku sebagai sebuah kitab undang-undang (kodifikasi)
di negara Republik Indonesia
yang sudah merdeka ini ?
Persoalan di atas ini pertama kali
dilontarkan oleh Mentri Kehakiman
RI tahun 1962 pada salah satu
Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) bulan Mei
1962.
Mentri Kehakiman, Sahardjo, SH, pada
pertemuan itu melontarkan suatu problema hukum: “Apakah BW sebagai kodifikasi
tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945?” Sahardjo, SH, berpendapat bahwa BW tidak lagi
sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan
lagi sebagai Wetboek tetapi rechtsboek yang hanya dipakai sebagai pedoman.
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Mentri Kehakiman Sahardjo, SH
tersebut, Prof. Mahadi, SH berpendapat sebagai berikut dibawah ini :
1.
BW sebagai kodifikasi sudfah
tidak berlaku lagi.
2.
Yang masih berlaku ialah
aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana
kemerdekaan.
3.
Diserahkan pada yurisprudensi
dan doktrin untuk dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4.
Tidak setuju diambil suatu
tindakan legislative untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai
aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak setuju,untuk menjadikan aturan-aturan
BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat), Sebab :
a.
Kelompok-kelompok hukum,
sekarang diatur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita
dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan, yaitu sebagian dari buku II telah
diatur secara lain di dalam Undang-undang Pokok Agraria.
Hukum Perjanjian (Buku III) sedang
dalam perencanaan. Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebagian dari Buku IV sedang dirancang, dan
sebagainya. Jadi, tidak logis, kalau yang tertulis sekarang itu dijadikan tidak
tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis kembali (meskipun dengan
perubahan-perubahan).
b.
Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat,
tidak hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tetapi
masih tetap ada segi interlokalnya.
c.
Dengan memperlakukan BW sebagai
hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan
tentang Burgerlijke Stand sebagai
aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada
umumnya tidak ada Burgerlijke Stand
untuk sebagian besar dari warga negara Indonesia .
d.
Kedudukan BW rasanya harus kita
tilik bergandengan dengan kedudukan KHUDagang. Dapatkah kita membuat pernyataan
bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ? Apakah tidak ada segi-segi
Internasionalnya ? (Bandingkan wessel misalnya).
e.
Menjadikan aturan-aturan BW
sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam fikiran para hakim
madya yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai
administrasi yang tidak sedikit jumlahnya. Sekarang mempunyai peganggan bernama
norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan
hukum adat, maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa
akibat baik kepada mutu putusan-putusan hakim-hakim yang bersangkutan.
Prof. Mahadi akhirnya mengusulkan agar persoalan ini diserahkan
kepada Mahkamah Agung, yurisprudensinya serta melalui jalan lain di dalam rangka peradilan
terpimpin, dibantu oleh para pengarang di dalam majalah hukum, untuk
menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang dapat dipandang sebagai tidak
berlaku lagi.
Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi rechtsboek ini dibawa ke
dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
(MIPI - sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta
pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,
SH dalam prasarannya yang berjudul “Keadaan Transisi Dari Hukum Perdata Barat”.
Dalam prasarannya itu dikemukakan beberapa pemikiran sebagai berikut
:
1.
Mengingat kenyataan bahwa BW
oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di
Negeri Belanda dan lagi untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang
Belanda di Indonesia,
yang sudah merdeka lepas dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada
tempatnyakah untuk memandang BW tersebut sejajar dengan suatu undang-undang
yang secara resmi berlaku di Indonesia ?
Dengan kata lain,
apakah BW yang bersifat kolonial itu masih pantas secara resmi dicabut dulu
untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang-undang ?
2.
Gagasan Menteri Kehakiman Sahardjo, SH
dalam sidang
Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang
menganggap BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu
dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik
hati, oleh karena dengan demikian para penguasa terutama para hakim lebih
leluasa untuk mengesampingkan beberapa pasal BW yang tidak sesuai dengan zaman
kemerdekaaan Indonesia.
3.
Namun oleh karena dalam gagasan
tersebut BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya oleh
para penguasa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan sekuat tenaga,
agar dalam waktu yang tidak lama, BW sebagai pedoman harus dihilangkan sama
sekali dari bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak
dengan undang-undang melainkan dengan suatu pernyataan dari Pemerintah atau
dari Mahkamah Agung.
Ternyata gagasan tentang kedudukan hukum
BW yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam Kongres Majelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia
ini mendapat sambutan dan persetujuan bulat dari para peserta kongres. Kemudian
terdengar banyak sekali dari para sarjana hukum di Indonesia yang menyetujui juga
gagasan tersebut. Dan ternyata Mahkamah Agung juga menyetujui dan sebagai
konsekuensinya Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3/1963
tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negri di seluruh Indonesia.
Dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku
lagi pasal-pasal dalam Bulgerlijk Wetboek
antara lain: Pasal, 108; 110; 284 ayat (3); 1682; 1579; 1238; 1460; 1603 x ayat
(1) dan ayat (2) BW.
5. Hukum Perdata dan
Sistematikanya
Hukum perdata
menurut Ilmu Pengetahuan lazimnya dibagi dalam 4 bagian yaitu :
1.
Hukum perorangan/ badan pribadi
(personenrecht)
2.
Hukum keluarga (familierecht)
3.
Hukum harta kekayaan
(vermogenrecht)
4.
Hukum waris (erfrecht)
Hukum perorangan/ badan pribadi
memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia
sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum), tentang umur, kecakapan,
untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal (domisili) dan sebagainya.
Hukum keluarga memuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan yang timbul karena hubungan
keluarga/ kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan
anak, perwalian, curatele, dan sebagainya.
Hukum harta kekayaan memuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan
harta kekayaan seperti, perjanjian, milik, gadai, dan sebagainya.
Hukum Waris memuat peraturan-peraturan
hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur
peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Sistematika hukum perdata menurut undang-undang yaitu susunan hukum perdata
sebagaimana termuat dalam BW terdiri dari 4 buku :
Buku I : tentang orang
(van personen)
Buku II : tentang benda
(van zaken)
Buku III : tentang perikatan
(van verbintennissen)
Buku IV : tentang pembuktian
dan daluwarsa (van bewijs en verjaring)
6. Hukum Perdata yang bersifat Pelengkap dan bersifat Memaksa
Menurut
kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan
atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend
recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend
recht).
Hukum yang bersifat
pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana
yang hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri
kepentingannya.
Misalnya dalam
pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang
yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah
ditentukan lain.
Peraturan hukum
ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual
beli suatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat
dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi
mereka yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak
menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang
tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan
, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus
tunduk dan mentaatinya. Misalnya dalam pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974
ditentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
berdasarkan alasan yang sah yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum
perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap,
meskipun hukum perdata merupakan bagian daripada hukum yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan
kehendak individu yang bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum
yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu tersebut.
Hukum perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang
mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan.
II.
HUKUM ORANG (PERSONENRECHT)
1.
Manusia Sebagai Subyek Hukum.
A. Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologikal yaitu makhluk hidup
yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian juridis
ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat
perhatian adalah orang atau persoon.
Di Indonesia menurut hukum yang berlaku sekarang, setiap manusia
diakui sebagai manusia pribadi.
Artinya manusia diakui sebagai orang
atau persoon. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recchtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pada agama, golongan,
kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban
perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau
rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya
sama. Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai lahir dan baru berakhir
apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya pendukung hak dan
kewajiban dalam BW disebut pada pasal 2 menentukan sebagai berikut :
1)
“Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan
si anak menghendakinya”.
2)
“Mati sewaktu dilahirkan,
dianggaplah ia tak pernah telah ada”.
Ketentuan yang termuat dalam
pasal 2 BW ini sangat penting, misalnya dalam hal warisan, dan ketentuan ini
sering disebut “rechtsfictie”
Pentingnya
pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut : Seorang ayah pada
tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ia mempunyai
2 orang anak, sedangkan isterinya dalam keadaan hamil (mengandung). Seandainya
pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris (kalau ayah yang meninggal
dunia itu tidak meninggalkan wasiat) hanyalah dua orang anaknya dan jandanya
(isterinya). Pada tanggal 1 September 1984 anak dalam kandungan isteri itu
lahir hidup dan segar bugar. Kalau pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel
warisan yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan
ibunya, yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangkan ia yang masih dalam
kandungan ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapat apa-apa keadaan ini
dirasa tidak adil.
Pasal 2 BW
tersebut diadakan untuk meniadakan ketidak adilan itu, sehingga anak yang ada
dalam kandungan pun merupakan ahli waris. Karena itu bagian dari masing-masing ahli
waris pada contoh diatas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang isteri/janda).
Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun
bagiannya menjadi warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal
itu menjadi pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah
saudara-saudaranya dan ibunya.
Dengan adanya
pasal 2 BW, maka seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap
seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam
kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah
telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik
dan ini dapat ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup,
sehingga dalam kandungannya ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak.
Dalam hukum perdata
dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban
adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama
itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Dalam pasal 3 BW dinyatakan : “Tiada
suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”.
Tetapi ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi
kewenangan tersebut anatara lain :
1)
Kewarganegaraan : misalnya dalam pasal
21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik.
2)
Tempat tinggal : misalnya dalam pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 41
tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan
larangan pemilikan tanah, pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya.
3)
Kedudukan atau jabatan : misalnya hakim
dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam
perkara.
4)
Tingkah laku atau perbuatan : misalnya
dalam pasal 49 dan 53 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa kekuasaan orang tua
dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ini ia sangat
melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/ wali atau berkelakuan buruk sekali.
B.
Ketidak cakapan
Setiap orang adalah sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) atau sebagai pendukung hak dan kewajiban,
namun tidak semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang
menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1)
Orang-orang yang belum dewasa, yaitu
anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU No. 1 tahun 1974).
2)
Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata
gelap dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW)
3)
Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu : misalnya orang yang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU
Kepailitan).
Jadi orang yang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan sehat akal
fikirannya serta tidak dilarang oleh suatau undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan
orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh
orang tuanya, walinya atau pengampunnya (curator).
Sedagkan penyelesaian utang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit
dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).
Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak
selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid).
C. Pendewasaan
Pendewasaan
diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432 BW. Pendewasaan merupakan suatu cara untuk
meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun.
Maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang
dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan
kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan
Keputusan Pengadilan Negeri.
Di dalam
UU No. 1 tahun 1974 pasal 47 ayat 1 dan pasal 50 ayat 1 yang menentukan bahwa seseorang
yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan UU Perkawinan yang
menetapkan umur seseorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh M.A dalam
putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara antara Masrul
Susanto alias Tan Kim Tjiang vs Nyonya Tjing Kim Ho.
D. Nama
Masalah nama merupakan hal yang cukup penting, karena nama merupakan
identifikasi seseorang sebagai subyek hukum. Bahwa dari nama itu sudah dapat
diketahui keturunan siapa orang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting
dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan
kekeluargaan. Tentang nama diatur dalam pasal 5a s/d 12 yang menentukan tentang nama-nama, perubahan
nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi dengan adanya UU No. 4
tahun 1961 yang mengatur tentang
pergantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur
dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
E. Tempat Tinggal
Tempat tinggal (domicile)
diatur dalam BW pasal 17 s/d 25, pentingnya ketentuan tentang tempat tinggal
adalah untuk menyampaikan gugatan perdata terhadap seseorang. Setiap orang
dianggap mempunyai tempat tinggal dimana ia berkediaman pokok. Tetapi bagi
orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tepat tinggal
dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada.
Di dalam undang-undang sering dipakai istilah rumah kematian, ini
tidak lain adalah pengertian dari domisili
penghabisan dari orang yang meninggal. Pengertian ini penting untuk
menentukan beberapa hal mengenai : pengadilan mana yang berwenang untuk
mengadili tuntutan si berpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya
tidak dikatakan dengan istilah “tempat
tinggal/ kediaman” melainkan “tempat
kedudukan”. Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap.
F. Keadaan Tidak Hadir
Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezeigheid) termuat dalam pasal 463
s/d 495 BW dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Stb. 1949 No. 451.
Orang yang
meninggalkan tempat tinggal tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subyek hukum, namun
keadaan tidak di tempat orang tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum,
sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.
Undang-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan,
yaitu :
1)
Masa Persiapan (pasal 463 s/d 466 BW)
Dalam masa persiapan (tindakan
sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat
tinggal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia, akan tetapi ada alasan yang
mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna
mengadakan seseorang wakil baginya. Dalam hal ini Pengadilan Negeri tempat
tinggal orang yang keadaan tidak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta
kekayaan dan segala urusan tersebut. Sekiranya harta kekayaan dan kepentingan
orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka Pengadilan Negeri dapat
memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau
pada isteri atau suaminya.
2)
Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang
meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483 BW)
Yaitu setelah 5 tahun sejak
keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar
terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu ia masih hidup, setelah diadakan
pemanggilan secara umum dengan memuat disurat kabar sebanyak tiga kali. Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban orang orang yang tidak di tempat beralih kepada ahli
warisnya. Tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan
pemabatasan-pembatasan.
3)
Masa pewarisan secara definitive (pasal 484 BW)
Adalah masa dimana persangkaan bahwa
orang yang tidak di tempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah
lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah
lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak di tempat itu.
Meskipun demikian
dalam setiap masa itu orang yang tidak di tempat tersebut tetap mempunyai
wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkanya,
dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali
kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 486 & 487 BW).
2. Badan Hukum Sebagai Subyek
Hukum
Dalam pergaulan hukum, ternyata bukan
hanya manusia satu-satunya subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi
masih ada subyek hukum lain yang sering disebut “Badan Hukum” (rechtspersoon). Sebagaimana halnya subyek
hukum manusia, badan hukum ini pun dapat mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhounding) baik antara badan hukum yang satu dengan badan
hukum lain maupun badan hukum dengan orang manusia (natuurlijkpersoon). Karena badan hukum dapat mengadakan
perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan segala macam
perbuatan di lapangan harta kekayaan.
Badan hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban yang tidak berjiwa, sedangkan manusia adalah pendukung hak dan kewajiban
yang berjiwa. Oleh karena itu badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin
berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan
anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum adalah suatu realita yang timbul
sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab manusia selain mempunyai kepentingan individual (perseorangan), juga
mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan
bersama pula. Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk
suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga
memasukkan
harta kekayaan masing-masing menjadi
milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka
anggota organisasi itu. Dalam hal ini semua orang yang tergabung dalam
organisasi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota serta
dapat bertindak hukum sendiri.
Peraturan tentang badan hukum dalam
BW tidak diatur secara lengkap dan sempurna, ketentuan tentang badan hukum
hanya termuat pasal 1653 s/d 1665 BW dengan istilah “van zedelijke lichmen” yang dipandang sebagai perjanjian karena
itu lalu diatur dalam Buku III tentang perikatan. Badan hukum kalau dilihat
dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam :
1)
Korporasi (corporatie) adalah gabungan
(kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama
sebagai suatu subyek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan
hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya.
Misalya : PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan,
koperasi, Indonesische Maatschappij op
aandelen (IMA) dan sebagainya.
2)
Yayasan (stichting) adalah harta
kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu. Jadi pada yayasan tidak
ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya.
Badan Hukum dapat pula dibedakan atas 2 jenis yakni :
1)
Badan hukum publik
Berdasarkan terjadinya badan hukum publik didirikan oleh
Pemerintah / Negara dan lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Misalnya
: Negara RI ,
Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/ Kotamadya dan Bank-bank Negara.
2) Badan hukum privat
Berdasarkan terjadinya badan hukum privat oleh
perseorangan, sedangkan lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan.
Misalnya : Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Perkapalan, Yayasan dan
lain-lain.
Di Indonesia , syarat mutlak untuk diakui sebagai badan
hukum, himpunan/ perkumpulan/ badan itu harus mendapat izin dari Pemerintah cq.
Departemen Kehakiman (pasal 1 Stb. 1870 No. 64). Badan hukum adalah subyek
hukum yang tidak berjiwa seperti manusia, karena itu badan hukum tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh
orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk
atas nama badan hukum ini disebut “organ” (alat perlengkapan seperti pengurus,
direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang merupakan unsur penting dari
organisasi badan hukum itu sendiri. Tindakan organ dari badan hukum ini
ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun
peraturan-peraturan lainnya. Dengan demikian organ badan hukum tersebut tidak
dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian oleh
ketentuan-ketentuan intern yang berlaku dalam badan hukum itu baik yang termuat
dalam anggaran dasar maupun peraturan-peraturan lainnya.
Tindakan organ badan hukum yang
melampaui batas-batas yang telah ditentukan, tidak menjadi tanggung jawab badan
hukum, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi organ yang bertindak melampaui
batas itu, terkecuali tindakan itu menguntungkan
badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui
tindakan itu. Dan persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi ini
harus masih dalam batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
yang termuat dalam pasal 1656 BW.
Jadi jelas dalam hal organ bertindak diluar wewenangnya,
maka badan hukum tidak dapat mempertanggung jawabkan atas segala akibatnya,
tetapi organlah yang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga
yang dirugikan. Dengan sendirinya badan hukum yang semula diwakili organ itu
tidak terikat dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh pihak
ketiga.
Lain halnya kalau organ itu bertindak
masih berada dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, meskipun
terjadi kesalahan yang dapat dikatakan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), badan hukum tetap
bertanggung jawab menurut pasal 1365 BW. Demikian pendapat sebagian besar
ahli-ahli hukum seperti Paul Scholten.
III.
HUKUM KELUARGA (FAMILIERECHT)
1.
Perkawinan.
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan secara sadar atau tidak adalah sarana pengembangan hidup
manusia, sehingga kelangsungan hidup manusia dapat dilestarikan. Menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 : Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rumusan perkawinan menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu :
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti
bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu
tertentu yang direncanakan, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karenanya
tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu
saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya
diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Yang dimaksud ikatan lahir bathin yang merupakan ikatan antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami-isteri, adalah satu sikap yang jelas bersifat
menerapkan azas monogamy yang secara formil haruslah dan wajib diikatkan pada
ikatan perkawinan yang sah dalam hubungan individu masing-masing dan disaksikan
oleh masyarakat. Yang menghendaki secara sungguh-sungguh niat untuk hidup
bersama dengan tujuan membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Dalam rumusan
perkawinan yang dinyatakan secara tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berarti bahwa perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.
Oleh karena itulah dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974
dinyatakan : Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat (2) menentukan : bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Maka kesan
yang dapat ditarik, bahwa demikian tegas ketentuan pasal tersebut yang memang
dimaksudkan untuk diterapkan bagi tiap-tiap warga Negara Indonesia . Unifikasi yang tertuang
dalam UU No. 1 tahun 1974 ini mempunyai sifat yang sangat istemewa oleh karena
yang diatur adalah tentang perkawinan, sedang tentang perkawinan itu sendiri
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama/ kerohanian sehingga dapat dikatakan,
bahwa perkawinan bukan saja menyangkut unsur lahiriah/ jasmaniah, namun juga
menyangkut unsur-unsur bathiniah/ rohaniah, sehingga perkawinan juga dimohon
rahmat, berkat dan ridho Allah Yang Maha Esa.
B.Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk melangsugkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 6 – 11 yaitu :
1) Adanya persetujuan kedua
calon mempelai (pasal 6 ayat 1) :
Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak
terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah
selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya meruapakan urusan pribadi
seseorang sebagai sebagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu
maka sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan
kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa
yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga.
2) Adanya izin kedua orang
tua/ wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2 – 6):
Ketentuan UU No. 1 tahun 1974 yang mensyaratkan adanya
izin kedua orang tua/ wali untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun ini memang
sudah selayaknya dan ini sesuai dengan tatakrama masyarakat kita sebagai orang
Timur. Karena dalam masyarakat kita mempunyai rasa kekeluargaan yang demikian
kuat terutama hubungan antara seorang anak dengan kedua orang tuanya/ keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas, maka perkawinan pun merupakan juga urusan
keluarga. Lebih-lebih yang akan melangsungkan perkawinan tersebut adalah anak
yang belum berusia 21 tahun, yang belum banyak pengalaman dan belum pernah
merasakan suka dukanya berkeluarga (berumah tangga), karenanya sudah seharusnya
sebelum melangsungkan perkawinan ada izin lebih dahulu dari kedua orang tua/
wali.
3) Usia calon mempelai pria
sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun
(pasal 7 ayat 1):
Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan
anak-anak yang masih dibawah umur. Dengan adanya ketentuan pembatasan umur
calon mempelai ini dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan melangsungkan
perkawinan sudah matang jiwa raganya, sehingga dapat membina rumah tangga
dengan sebaik-baiknya tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Kecuali itu ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga
kesehatan suami isteri serta pengendalian angka kelahiran.
Penyimpangan
terhadap ketentuan ini hanya dimungkinkan dengan meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
Dalam hal ini Undang-undang tidak menyebutkan apa saja
yang dapat dijadikan alasan untuk memberi dispensasi ini. Oleh karena itu maka
tiap-tiap keadaan pada setiap kasus akan dipertimbangkan oleh Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk. Sebagai misal calon mempelai wanita yang belum
berusia 10 tahun telah hamil, maka untuk mencegah kenistaan wanita tersebut ia
harus segera dikawinkan dan agar supaya anak yang dilahirkannya kelak mempunyai
bapak sehingga tidak dinamakan anak haram jadah.
4)
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin (pasal 8) :
Pada dasarnya larangan untuk melangsungkan perkawinan
karena hubungan darah / keluarga yang dekat seperti yang disebut pasal 8
Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini terdapat juga dalam system hukum agama
islam, BW maupun HOCI, akan tetapi karena dalam pasal 8 UU No. 1 tahun 1974 itu
dinyatakan bahwa hubungan yang dilarang kawin juga adalah hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, maka larangan kawin
dalam undang-undang perkawinan tersebut mungkin akan bertambah dengan
larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain tersebut.
Ketentuan yang demikian membuktikan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1974 telah menghormati
sepenuhnya agama dan kepercayaan dalam masyarakat. Oleh karena itu Prof. Dr.
Hazairin, SH. dalam bukunya Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 tahun 1974
menyatakan undang-undang perkawinan itu sebagai “suatu unifikasi yang unik
dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan
kepercayaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
5)
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9)
Dalam pasal 9 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan : Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
Pasal 3 menyatakan :
1.
Pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.
Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Polygami menurut UU No. 1 tahun 1974
hanya diperuntukan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang
suami beristeri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih
dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. Oleh karena itu polygami tidak dapat dilakukan
oleh setiap orang dengan sekehendak hati atau asal dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan saja, tetapi polygami hanya dapat dilakukan setelah ada izin
dari Pengadilan. Untuk ini yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Pengadilan di daerah tempat tinggal pemohon. Pengadilan
hanya memberikan izin kepada seorang suami untuk melakukan polygami apabila ada
alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. (pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974).
Bagi pegawai negeri sipil pria yang
ingin melakukan polygami dan pegawai negeri sipil wanita yang ingin menjadi
isteri kedua/ ketiga/ keempat, selain harus mengindahkan ketentuan umum seperti
yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemrintah No. 9 tahun 1975
ini, juga harus mengindahkan ketentuan-ketentuan yang khusus yang termuat dalam
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang diundangkan tanggal 21 April 1983.
6) Bagi suami isteri yang
telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama
dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (pasal
10) :
Dalam pasal 10 menyatakan : Apabila
suami dan isteri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
Dalam islam, suami isteri yang telah bercerai
dua kali, masih diperbolehkan untuk kawin ketiga kalinya. Akan tetapi bilamana
mereka bercerai lagi untuk ketiga kalinya, maka mereka tidak boleh kawin lagi,
kecuali bekas isteri yang telah bercerai tiga kali tersebut kawin dengan lelaki
lain dan kemudian bercerai maka dia boleh melakukan perkawinan kembali dengan
bekas isterinya yang pernah bercerai tiga kali.
7)
Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.
Dalam pasal 11 UU No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa
wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan
lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.
Menurut pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,
waktu tunggu tersebut :
1.
Waktu tunggu bagi seorang janda
sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 undang-undang ditentukan sebagai berikut
:
a.
Apabila perkawinan putus karena
kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.
Apabila perkawinan putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.
Apabila perkawinan putus sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
2.
Tidak ada waktu tunggu bagi
janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3.
Bagi perkawinan yang putus
karena perceraian, tenggang waktu tunggu di hitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Ratio dari perturan ini adalah untuk
menentukan dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu
tunggu itu.
B. Pencatatan dan Tatacara Perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan. Bagi yang beragama islam ialah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk sedangkan bagi yang bukan beragama islam ialah Kantor Catatan Sipil atau
Instansi/ Pejabat yang membantunya. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara
lisan oleh salah seorang atau kedua calon mempelai atau orang tuanya atau walinya
atau diwakilkan kepada orang lain. Apabila pemberitahuan secara lisan tidak
mungkin dilakukan maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Dalam hal
pemberitahuan diwakilkan kepada orang lain, maka orang tersebut harus ditunjuk
berdasarkan kuasa khusus.
Pemberitahuan harus sudah disampaikan
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan itu
dilangsungkan, kecuali disebabkan sesuatu alasan yang penting maka
pemberitahuan itu dapat kurang dari 10 (sepuluh) hari misalnya salah seorang
dari kedua calon mempelai akan segera pergi keluar negeri untuk melakukan tugas Negara yaitu dengan mengajukan
permohonan dispensasi kepada Bupati Kepala Daerah cq Camat setempat. Setelah
Pegawai Pencatat menerima pemberitahuan akan melangsungkan perkawinan, maka
Pegawai Pencatat Perkawinan harus melakukan penelitian.
Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi semua dan apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut undang-undang . Selain itu juga Pegawai Pencatat
Perkawinan juga meneliti tentang hal-hal yang disebut dalam pasal 6 ayat 2 PP
No. 9 tahun 1975. Apabila semua ketentuan tentang pemberitahuan dan penelitian
telah dilakukan, ternyata tidak ada sesuatu halangan dan semua syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi, maka Pegawai Pencatat kemudian melakukan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan tersebut, dengan menempelkan surat pengumuman
menurut bentuk yang ditetapkan Kantor Catatan Perkawinan yang daerah hukumnya
meliputi wilayah tempat perkawinan akan dilangsungkan dan tempat kediaman
masing-masing calon mempelai, pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah
dibaca oleh umum.
Maksud diadakan pengumuman ini adalah
untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang
demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya
itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
melangsungkan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat.
Tatacara perkawinan dilakukan menurut
masing-masing hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan
itu. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya
itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai
menanda-tangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dengan ditanda-tanganinya akta perkawinan
tersebut, maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan ini
dibuat rangkap dua, helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua
disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatat Perkawinan itu
berada, sedangkan suami-isteri masing-masing diberikan kutipannya.
C. Keabsahan Perkawinan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 dalam
pasal 2 ayat 1 menyatakan :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Perkawinan menurut Undang-undang No.
1 tahun 1974 tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan
akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga
sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.
Oleh karena itu maka sah tidaknya
suatu perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 diukur dengan ketentuan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.
Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun
hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Demikianlah kebanyakan pendapat para
ahli hukum dan sarjana hukum yang dianut oleh umat islam Indonesia . Sehingga menurut
pendapat ini, pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif belaka, bukan menentukan
sah tidaknya perkawinan. Akan tetapi para ahli dan sarjana hukum serta golongan
yang selama ini tunduk dan melaksanakan Perkawinan berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam BW dan HOCI, dimana perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan akta perkawinan mempunyai pendapat lain yang menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan menentukan sah tidaknya perkawinan.
Menurut pendapat ini, kedua ayat dari
pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 tersebut harus dibaca sebagai satu kesatuan. Artinya perkawinan yang dilangsungkan menurut agama
dan kepercayaan itu segera disusul dengan pencatatan, karena sebagaimana
ditentukan pasal 100 BW dan pasal 34 HOCI, akta perkawinan adalah bukti
satu-satunya suatu perkawinan.
D. Pencegahan Perkawinan
Dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 pencegahan perkawinan diatur
pada pasal 13 s/d 21, perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau tidak memenuhi prosedur yang
ditentukan.
Orang-orang yang
dapat mencegah perkawinan adalah :
1.
Para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan kebawah dari salah seorang calon mempelai.
2.
Saudara dari salah seorang
calon mempelai.
3.
Wali nikah dari salah seorang calon
mempelai.
4.
Wali dari salah seorang calon
mempelai.
5.
Pengampu dari salah seorang
calon mempelai.
6.
Pihak-pihak yang
berkepentingan.
7.
Suami atau isteri dari salah
satu seorang calon mempelai.
8.
Pejabat yang ditunjuk.
Pencegahan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
Kemudian Pegawai Pencatat Perkawinan memberitahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan termaksud kepada calon mempelai. Penolakan terhadap salah
satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan tersebut dituangkan dalam suatu surat keterangan yang disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
Para
pihak yang perkawinanya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan
di dalam daerah dimana Pegawai Pencatat Perkawinan yang melakukan penolakan itu
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut.
Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah akan menguatkan
atau mencabut penolakan tersebut.
Jika ketetapan Pengadilan mencabut penolakan
itu maka Pegawai Pencatat Perkawinan harus melangsungkan perkawinan. Akan tetapi
jika ketetapan Pengadilan menguatkan penolakan
maka perkawinan yang ingin dilangsungkan tetap tidak dapat dilangsungkan. Namun
ketetapan Pengadilan ini hilang kekuatannya, jika halangan-halangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut telah hilang, dan para pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan dapat mengulangi pemberitahuan tentang kehendak
mereka. Selama orang berada dalam keadaan pencegahan perkawinan, selama itu
pula ia tidak dapat melangsungkan perkawinan sebelum pencegahan perkawinan itu
dicabut, baik dengan ketetapan Pengadilan maupun ditarik kembali oleh si
pemohon.
E. Pembatalan Perkawinan
Diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 22 s/d 28, yang
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 37 s/d
38.
Dalam pasal 22 UU
No. 1 tahun 1974 menyatakan : “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak dapat memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam
penjelasannya disebutkan : pengertian “dapat”
pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan
hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Dengan demikian alasan untuk mencegah perkawinan dan alasan untuk
membatalkan perkawinan mengadung persamaan, yakni apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Permohonan pembatalan
perkawinan harus disampaikan kepada Pengadilan daerah hukum dimana perkawinan
yang dimohonkan pembatalannya itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami
isteri, suami atau isteri (pasal 24 UU No. 1 tahun 1974). Khusus dalam hubungan
suami isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau isteri. Yang dimaksud salah sangka disini
bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat kedudukan, kekayaan
dan sebagainya melainkan salah sangka mengenai diri suami isteri. Bilamana
dalam jangka waktu 6 bulan setelah tidak adanya ancman lagi atau salah sangka itu
menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya itu gugur.
Tatacara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tatacara mengajukan gugatan perceraian (pasal 38 ayat 2 PP No.
9/1975). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.
2.
Akibat Hukum Perkawinan.
A.
Hak dan Kewajiban suami
isteri
Sebagai suatu
hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri. Yang
dimaksud dengan “hak” ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki
oleh suami atau isteri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan yang
dimaksud dengan “kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan
oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dari pihak yang lain.
Dalam
Undang-undang No. 1 tahun 1974, Hak dan Kewajiban suami isteri diatur pada pasal 30 s/d 34
yang menentukan secara garis besar sebagai berikut :
1.
Suami isteri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
2.
Suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.
3.
Hak dan kedudukan isteri
seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
4.
Suami isteri sama-sama berhak
untuk melakukan perbuatan hukum.
5.
Suami adalah kepala rumah
tangga dan isteri ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
6.
Suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.
Jika suami
atau isteri melalaikan kewajibnya, maka masing-masing dapat menuntutnya
terhadap pihak lain dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
B.
Harta Benda dalam
Perkawinan
Adanya harta
benda dalam perkawinan disebabkan karena terjadinya perkawinan. Sebagai dasar
untuk melangsungkan kehidupan daripada rumah tangga sudah tentu tidak bisa
dilepaskan dari soal materi. Bagaimanapun sederhananya hidup seseorang,
dasarnya adalah materi juga, yaitu berupa uang ataupun barang. Lain daripada
itu jika keluarga itu dikaruniai anak/ keturunan, maka justru dari harta
perkawinan itulah yang kelak dipakai sebagai dasar pewarisan bagi anak-anaknya,
jika anak-anaknya akan “mentas” atau
“kawin” atau sebagai materi yang akan
dipakai sebagai penyambung hidup mereka.
Harta benda
dalam perkawinan diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 s/d 37.
dalam pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-2 suami dan isteri, serta
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing,
kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Untuk menentukan lain
ini, suami isteri dapat mengadakan “perjanjian
perkawinan” yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
Perjanjian
perkawinan ini tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali
bila suami isteri yang bersangkutan sepakat untuk merubahnya, namun dengan
tidak merugikan pihak ketiga (pasal 29 UU No. 1 tahun 1974).
Adanya hak suami dan isteri
mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah
sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(pasal 31 UU No. 1 tahun 1974).
Selanjutnya
dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 ditentukan, apabila perkawinan putus maka
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud “hukumnya”
masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
C.
Kedudukan Anak
Mengenai anak
dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 diatur pada pasal 42 s/d 44 dan pasal 55.
dalam pasal 42 disebutkan bahwa anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Hal ini berarti bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang sah bukanlah
anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang perwarisan. Sebab anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (pasal 43).
Dengan
demikian anak yang lahir diluar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda
yang ditinggalkan ibunya dan keluarga ibunya, namun tidak dapat mewarisi harta
benda yang ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dalam pasal 44 dinyatakan
bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu
akibat daripada perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan sah
tidaknya anak yang disangkal itu atas permintaan yang berkepentingan dengan
lebih dahulu mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
Sedangkan
dalam pasal 55 Undang-undang No. 1 tahun 1974 menentukan :
1)
Asal usul seorang anak hanya
dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang.
2)
Bila akte kelahiran tersebut
dalam ayat 1 pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3)
Atas dasar ketentuan Pengadilan
tersebut ayat 2 pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.
D.
Hak dan Kewajiban antara
Orang Tua dan Anak
Hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya dalam Undang-undang No. 1 tahun
1974 diatur pada pasal 45 s/d 49. Dalam suatu perkawinan apabila ia memperoleh
keturunan (anak), maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri, akan tetapi juga menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami isteri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya.
Tujuan menmbentuk keluarga
bahagia sebagaimana tersebut dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 mengandung makna
pula bahwa hal itu erat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang
tua. Dan ini dipertegas dalam pasal 45 yaitu : mengatakan bahwa kedua orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak
itu kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua itu putus. Sedang dalam pasal 49 mengatur masalah
bilamana orang tua sampai melalaikan kewajiban terhadap anaknya dan ia
berkelakuan sangat buruk sekali maka Pengadilan atas permintaan dari yang
tersebut dalam pasal itu dapat mencabut kekuasaan terhadap anak-anaknya untuk
jangka waktu tertentu. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk
kekuasaan sebagai “wali nikah”. Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan anaknya tersebut.
Sebaliknya,
anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga
mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bilamana anak
telah dewasa, ia wajib memelihara orang
tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk
memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan
bantuannya (pasal 46).
Dengan
demikian terlihat adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua
orang tua dengan anak-anaknya.
E.
Perwalian
Perwalian
diatur dalam pasal 50 s/d 54 Undang-undang No. 1 tahun 1974, yang mempunyai
kaitan erat dengan pasal 48 dan 49 yang mengatur tentang kekuasaan orang tua
dan pembatasannya. Dalam pasal 49 dikatakan bahwa kekuasaan salah seorang dari
orang tua dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan atas permintaan orang tua
yang lain. Dari ketentuan pasal 49 ini dapat ditafsirkan, bahwa kekuasaan orang
tua terhadap anak dapat dijalankan hanya oleh seorang dari kedua orang tua si
anak. Perwalian hanya ada bilamana terhadap seorang atau beberapa orang anak
tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya sama sekali. Seperti yang dikatakan
pasal 50 ayat 1 : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”.
Dengan
demikian maka putusnya perkawinan antara kedua orang tua, meninggalnya salah
seorang dari kedua orang tua, tidak dengan sendirinya mengakibatkan anak berada
dibawah kekuasaan wali. Kecuali apabila dalam putusnya perkawinan, kedua orang
tua telah menyerahkan anaknya dibawah kekuasaan wali. Atau kedua orang tua meninggal
dunia atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, maka dengan
sendirinya anak berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian ini tidak hanya
mengenai diri pribadi anak yang bersangkutan, akan tetapi juga mengenai harta
bendanya.
Wali dapat
ditunjuk oleh salah seorang dari kedua orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal dunia, baik dengan surat wasiat maupun dengan lisan dihadapan
dua orang saksi. Wali sedapat mungkin diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik (pasal 51 ayat 1 dan 2).
Kekuasaan wali terhadap anak
dibawah perwalian dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan, baik atas
permintaan orang tuanya (kalau masih hidup) maupun keluarga dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, karena melalaikan
kewajibannya sebagai wali atau berkelakuan buruk sekali (pasal 53 jo 49).
Apabila
seorang wali dicabut kekuasaannya sebagai wali, maka Pengadilan menunjuk orang
lain sebagai
penggantinya. Orang tua yang dicabut kekuasaannya terhadap anaknya masih tetap
berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anaknya. Sedangkan wali yang
dicabut kekuasaannya sebagai wali, tidak lagi bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan dan pendidikan anak yang berada dibawah kekuasaannya. Selain
berakhirnya perwalian karena dicabut oleh Pengadilan, perwalian juga berakhir
bilamana anak yang berada dibawah perwalian tersebut telah dewasa (bermur 18
tahun) atau melangsungkan perkawinan.
3.
Putusnya Perkawinan.
Sebab-sebab putusnya perkawinan
disebutkan dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah :
1.
Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian
adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri).
Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan terjadi, yakni terjadi dengan
sendirinya. Dan untuk kepastian hukum, surat
keterangan tentang matinya seseorang ini agaknya sangat penting bagi seseorang
yang telah kematian suami atau isteri, sebagai bukti otentik untuk
melangsungkan perkawinan lagi misalnya.
2.
Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian
adalah putusnya perkawinan karena dinyatakannya talak oleh seorang suami
terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam. Putusnya
perkawinan karena perceraian ini dapat juga disebut “cerai talak”.
Perceraian ini hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan perceraian ini harus ada
alasan yang dapat dibenarkan (pasal 39). Selanjutnya tatacara perceraian ini
diatur dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 14 s/d 18 dan lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama pada pasal 28 dan 29.
Perceraian dengan cara talak itu
terjadi, terhitung sejak saat diikrarkan di depan sidang Pengadilan Agama
(pasal 18 PP No. 9 tahun 1975).
3.
Atas Keputusan Pengadilan
Putusnya perkawinan atas keputusan
Pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan perceraian isteri terhadap suaminya yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam atau karena gugatan perceraian suami atau isteri
yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan bukan Islam,
gugatan perceraian mana dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan. Putusnya
perkawinan karena keputusan Pengadilan ini disebut juga dengan istilah “cerai gugat’. Gugatan perceraian isteri
terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam diajukan
kepada Pengadilan Agama. Sedangkan gugatan perceraian isteri atau suami
terhadap pihak lain yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan
bukan Islam diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Akibat Putusnya Perkawinan
Bila perkawinan putus karena
perceraian, bekas suami isteri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu
dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata untuk kepentingan anak-anaknya. Bila terjadi perselisihan mengenai
anak-anak tersebut, Pengadilan memberikan keputusan ikut bersama siapa
anak-anak itu (pasal 41 ayat 1).
Meskipun mungkin anak-anak itu ikut
bersama ibunya, namun ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut (pasal 41 ayat 2).
Pengadilan dapat pula mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan /atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41 ayat 3).
Kemudian mengenai harta bersama
akibat putusnya perkawinan, menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 37
pengaturannya diserahkan kepada hukum masing-masing yaitu hukum agama, hukum
adat dan hukum-hukum lainnya.
IV.
HUKUM BENDA (ZAKENRECHT)
1.
Pengertian Benda
Menurut pasal 499 BW, pengertian
benda (zaak) secara yuridis adalah
segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak milik.
Dengan kata lain benda disini berarti obyek sebagai lawan dari subyek dalam hukum yaitu orang dan
badan hukum. Dalam BW pengertian benda (zaak)
sebagai obyek hukum tidak hanya meliputi “barang
yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan pancaindera, akan tetapi juga “barang yang tidak berwujud” yakni hak-hak
atas barang yang berwujud.
Pengertian benda (zaak) dalam BW tidak hanya meliputi benda yang berwujud saja, akan
tetapi juga benda yang tidak berwujud, yang oleh sementara sarjana disebut zaak dalam arti bagian dari harta
kekayaan, namun sebagian terbesar dari pasal-pasal Buku II BW adalah mengatur
mengenai benda dalam arti barang yang berwujud istilah zaak dalam BW tidak selalu berarti benda, akan tetapi juga dipakai dalam arti yang lain, seperti dalam
pasal 1792 BW zaak mempunyai arti “perbuatan hukum”, sedang dalam pasal
1354 BW zaak berarti “kepentingan” dan dalam pasal 1263 BW zaak mempunyai arti “kepastian hukum”.
2.
Pembedaan Macam-macam Benda
Benda sebagaimana yang diatur dalam BW dapat dibedakan
atas :
A. Benda tak bergerak dan benda bergerak.
1.
Benda yang menurut sifatnya tak bergerak yaitu :
a.
Tanah
b.
Segala sesuatu yang bersatu
dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan
yang masih belum dipetik dan sebagainya.
c.
Segala sesuatu yang bersatu
dengan tanah karena didirikan di atas tanah yaitu karena tertanam dan terpaku.
2.
Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya
bersatu dengan benda tak bergerak seperti :
a.
Pada pabrik : segala mesin-mesin, ketel-ketel, dan alat-alat lain yang
dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk dipergunakan dalam
menjalankan pabrik.
b.
Pada suatu perkebunan : segala sesuatu yang dipergunakan sebagai rabuk bagi
tanah, ikan dalam kolam dan lain-lain.
c.
Pada rumah kediaman : segala kaca, tulisan-tulisan serta alat-alat untuk
menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding dan lain-lain.
d.
Barang-barang reruntuhan dari
sesuatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi
bangunan itu.
3.
Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak seperti :
a.
Hak-hak atau penagihan mengenai
suatu benda yang tak bergerak.
b.
Kapal-kapal yang berukuran 20
meter kubik ke atas (dalam hukum perniagaan).
1.
Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu
dapat berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ketempat yang lain. Seperti
: mobil, lemari, tas, bangku, dan sebagainya.
2.
Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda
bergerak ialah segala hak atas benda-benda bergerak. Misalnya : hak memetik
hasil dan hak memakai, hak menuntut dimuka hakim agar supaya uang tunai atau
barang-barang bergerak diserahkan kepada penggugat, saham-saham dari perseroan
dagang dan surat-surat berharga lainnya.
B. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada.
Benda yang musnah :
Ialah
benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah serta manfaat/ kegunaan dari
benda-benda ini justru terletak pada kemusnahannya. Misalnya : kayu bakar dan arang, setelah
dibakar dan menimbulkan api baru memberi manfaat untuk memasak sesuatu makanan, demikian juga makanan
dan minuman kalau dimakan dan diminum baru memberi manfaat bagi kesehatan dan
sebagainya.
Pengertian
ini dapat dipakai dalam hukum perjanjian, misalnya : perjanjian pinjam
mengganti yang diatur dalam pasal 1754 s/d 1769 BW, sedangkan dalam hukum
benda, misalnya : hak memetik hasil suatu benda yang diatur pada pasal 756 s/d
817 BW.
Benda yang tetap ada :
Ialah
benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi
musnah, tetapi memberi manfaat bagi si pemakai, misalnya : gelas, sendok,
garpu, motor, mobil, dan lain sebagainya.
Pengertian
ini dapat dipakai dalam hukum perjanjian, misalnya : perjanjian pinjam pakai
yang diatur pada pasal 1740 s/d 1753 BW, sedangkan dalam hukum benda, misalnya
: hak memakai yang diatur dalam pasal 818 s/d 829 BW.
C. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
Perbedaan ini di dalam BW tidak
disebut secara tegas, akan tetapi perbedaan itu ada di dalam BW, misalnya :
dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang.
Menurut pasal 1694 BW pengembalian
barang oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan
benda yang lain. Oleh karena itu maka perjanjian penitipan barang pada umumnya
hanya mengenai benda yang tidak akan musnah. Sedangkan apabila benda yang
dititipkan berupa uang, maka menurut pasal 1714 BW jumlah uang yang harus
dikembalikan harus dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan, baik mata
uang-mata uang itu telah naik atau telah turun harganya.
D. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tak dapat dibagi
Benda yang dapat dibagi :
Ialah benda yang apabila wujudnya
dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri,
misalnya : beras, gula pasir dan lain-lain.
Benda yang tak dapat dibagi :
Ialah benda yang apabila wujudnya
dibagi mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya hakikat daripada benda itu
sendiri, misalnya : uang, kerbau, ayam dan sebagainnya.
E. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tak diperdagangkan
Benda yang diperdagangkan :
Ialah benda-benda yang dapat
dijadikan obyek (pokok) suatu perjanjian dilapangan harta kekayaan.
Benda
yang tak dapat diperdagangkan :
Ialah benda-benda yang tidak dapat
dijadikan obyek (pokok) suatu perjanjian dilapangan harta kekayaan, misalnya :
benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
F. Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar
Pembagian benda seperti ini tidak
dikenal dalam BW. Pembagian benda seperti ini hanya dikenal beberapa waktu
kemudian setelah BW dikodifikasikan dan diberlakukan. Benda-benda yang harus
didaftarkan diatur dalam pelbagai macam peraturan yang terpisah-pisah seperti
peraturan tentang pendaftaran tanah, peraturan tentang pendaftaran kapal,
peraturan tentang pendaftaran kendaraan bermotor dan lain sebagainnya.
Adanya peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang
pendaftaran pelbagai macam benda itu untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas benda-benda yang didaftarkan tersebut, juga mempunyai kaitan
erat dengan usaha pemerintah untuk memperoleh pendapatan yaitu dengan melakukan
pungutan-pungutan wajib seperti pajak, iuran, dan sebagainya terhadap
pemilik-pemilik atau pemakai-pemakai benda yang didaftarkan.
3.
Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan
(Hukum benda termuat pada pasal 499 s/d 1232 sedangkan
Hukum Perikatan termuat pada pasal 1233 s/d 1864 BW).
Hubungan hukum antara orang /
seseorang dengan benda yang diatur dalam pasal-pasal Buku II BW menimbulkan hak
atas benda atau hak kebendaan (zakelijk
recht), yaitu hak yang memberikan
kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda
di dalam tangan siapapun juga benda itu berada.
Hak kebendaan itu bersifat mutlak (absolut) yang berarti bahwa hak
seseorang atas benda itu dapat dipertahankan (berlaku) terhadap siapapun juga,
dan setiap orang siapapun juga harus menghormatinya. Jadi setiap orang tidak
boleh mengganggu atau merintangi penggunaan dan penguasaan hak itu. Dus pada zakelijk recht ini tetap ada hubungan
yang langsung antara orang yang berhak dengan benda, bagaimanapun juga ada
campur tangan pihak lain.
Hubungan hukum antara seseorang
dengan seseorang yang diatur dalam pasal-pasal Buku II BW menimbulkan hak
terhadap seseorang atau hak perorangan
(persoonlijk recht), yakni hak
yang memberikan kekuasaan kepada seseorang (yang berhak) untuk menuntut
seseorang tertentu yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian hak perseorangan bersifat
relative (nisbi) yang berarti bahwa hak perseorangan ini hanya berlaku
terhadap seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan hukum.
Maka persoonlijk
recht ini senantiasa ada hubungan antara seseorang dengan seseorang lain
tertentu, meskipun ada terlihat suatu benda dalam hubungan hukum itu.
Antara hak kebendaan yang diatur
dalam Buku II BW dan hak perseorangan yang diatur dalam Buku III BW mempunyai
perbedaan-perbedaan pokok yang dapat disimpulkan sebagai berikut dibawah ini :
a.
Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) sedangkan hak perseorangan
bersifat relative (nisbi). Oleh
karena itu hak kebendaan berlaku terhadap setiap orang sedangkan hak
perseorangan hanya berlaku terhadap orang tertentu saja.
b.
Hak kebendaan umumnya
berlangsung lama, sebaliknya hak perseorangan umumnya ditujukan untuk pemenuhan
prestasi dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu dengan dipenuhinya prestasi
tersebut hak perseoranganpun lenyap.
c.
Jumlah hak kebendaan terbatas
pada apa yang hanya ditentukan undang-undang, sebaliknya hak perseorangan
jumlahnya tidak terbatas pada apa yang telah ditentukan dalam undang-undang,
karena hak perseorangan timbul dari pelbagai macam perjanjian yang dibuat sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Maka
dari itu sering dikatakan bahwa Buku II BW yang mengatur ha-hak kebendaan
menganut sistem
tertutup, sedangkan Buku II BW yang mengatur hak-hak perseorangan menganut sistem terbuka.
4.
Pembedaan Hak Kebendaan
Hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dapat
dibedakan atas 2 macam yaitu :
1.
Hak kebendaan yang bersifat
kenikmatan (zakelijk genotsrecht)
Mengenai tanah yang diatur dalam Buku II BW, dengan
berlakunya UUPA (Undang-undang No. 5 tahun 1960) tanggal 24 September 1960,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak-hak kebendaan atas tanah yang diatur dalam
Buku II BW yang tidak berlaku lagi itu adalah :
a.
Hak bezit atas tanah
b.
Hak eigendom atas tanah
c.
Hak servitut (pembebanan
pekarangan)
d.
Hak opstal (hak untuk memiliki
bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain)
e.
Hak erfpacht (hak untuk menarik
penghasilan dari tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah uang atau
penghasilan setiap tahun)
f.
Hak bunga tanah dan hasil
sepersepuluh, dan
g.
Hak pakai mengenai tanah
Hak-hak atas tanah sebagai penggantinya yang berlaku
sekarang sebagaimana diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya
adalah :
a.
Hak milik
b.
Hak guna usaha
c.
Hak guna bangunan
d.
Hak pakai
e.
Hak sewa untuk bangunan
f.
Hak membuka tanah dan memungut
hasil hutan
g.
Hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan
h.
Hak guna ruang angkasa, dan
i.
Hak-hak tanah untuk keperluan
suci dan sosial
2.
Hak kebendaan yang bersifat
memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht) yaitu :
a.
Jaminan gadai,
b.
Jaminan
Fiducia
c.
Jaminan
Hipotik
d.
Hak
Tanggungan
5.
Hak Kebendaan Yang Bersifat Memberi Kenikmatan
A.
Bezit
Bezit adalah suatu keadaan dimana
seseorang menguasai sesuatu benda, baik sendiri maupun dengan perantara orang
lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri. Orang yang menguasai benda
itu, yang bertindak seolah-olah sebagai pemiliknya itu disebut Bezitter.
Untuk adanya bezit harus ada 2 unsur yaitu :
1. unsur keadaan dimana seseorang menguasai
suatu benda (corpus);
2. unsur
kemauan orang yang menguasai benda tersebut untuk
Memilikinya (animus).
Khusus mengenai bezit terhadap benda bergerak,berlaku
asas yang tercantum pada pasal 1977 ayat 1 BW yang menyatakan: ”Terhadap benda
bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus di bayar
kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai
pemiliknya“. Jadi barang siapa yang membezit benda bergerak maka ia seketika
(nol tahun) bebas dari tuntutan pemilik (eigenaar).
Dari perumusan pasal 1977 ayat 1 BW
timbul beberapa pendapat mengenai
kedudukan bezit mengenai benda bergerak.Ada 2 macam pendapat yang terkenal
dengan teorinya masing-masing yaitu:
a.
Elgendomstheori yang dikemukakan oleh Maijers.
Menurut teori ini bezit terhadap benda bergerak berlaku sebagai alas hak (hak) yang sempurna.
Sedangkan hak yang paling sempurna adalah eigendom.
Jadi bezit terhadap benda bergerak
sama dengan eigendom (bezitter sama dengan eigenaar). Jadi bezit terhadap benda
bergerak adalah merupakan hak yang paling sempurna. Jadi jelasnya barang siapa
yang membezit benda bergerak, tidak perduli apakah bezit itu diperoleh dengan
title yang sah atau tidak, apakah berasal dari orang yang berwenang menguasai
benda itu atau tidak, maka bezit itu sama dengan eigendom. Tentu saja bezitternya
yang jujur.
b. Legitimatie-theorie yang dikembangkan
oleh Scholten.
Menurut Scholten bahwa bezit tidak sama dengan eigendom, akan tetapi menurut teori ini
barang siapa yang membezit benda bergerak dengan itikad yang baik/ jujur (te goeder trouw) maka ia dalam keadaan
aman. Jadi keadaan bezit itu
fungsinya mengesankan bezitter dari
benda itu sebagai eigenaar (sebagai
orang yang mempunyai hak penuh). Benda yang dikuasainya itu adalah miliknya
sendiri. Sedangkan bezitter yang
beritikad tidak baik (to kwader trouw) adalah bezitter yang mengetahui bahwa benda
yang dikuasainya itu bukan miliknya (pasal
532 ayat 1 BW) Misalnya bezitter
mengetahui bahwa benda yang ada padanya itu berasal dari curian.
Undang-undang
memberikan perlindungan yang berbeda terhadap bezitter yang beritikad baik (jujur) dengan bezitter yang beritikad tidak baik (yang tidak jujur). Perbedaan
perlindungan yang diberikan terhadap bezitter
yang beritikad baik dan bezitter yang
beritikad tidak baik ini berkaitan dengan fungsi zakenrechtelijk bezit dalam 3 hal berikut:
1.
Kemungkinan untuk menjadi eigenaar
2.
Hak untuk memetik hasilnya dari
bendanya itu, dan
3.
Hak untuk mendapat penggantian
kerugian berupa ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk benda yang bersangkutan
Bagi bezitter yang beritikad baik memperoleh ketiga
hak tersebut. Sedangkan bagi bezitter
yang beritikad tidak baik hanya memperoleh hak yang kedua saja, inipun kurang
daripada hak bezitter yang beritikad
baik.
Perlindungan yang sama-sama diberikan oleh undang-undang baik
terhadap bezitter yang beritikad baik maupun terhadap bezitter yang beritikad
tidak baik ialah yang disebutkan dalam pasal 548
ayat 1,4 BW dan untuk bezitter yang
beritikad tidak baik, disebutkan dalam pasal 549 ayat 1, 3 BW. Pasal-pasal BW ini
menentukan :
a.
Bahwa mereka selama tidak ada
gugatan dianggap sebagai pemilik sejati
b.
Bahwa apabila mereka diganggu
dalam hal menguasai bendanya, mereka harus dibebaskan dari gangguan itu, atau
apabila mereka kehilangan daya untuk menguasai bendanya, mereka dipulihkan
kembali dalam keadaan dapat menguasai benda itu.
Langganan:
Postingan (Atom)